Oleh: Dr. Ahmad Junaidi, M.H.I. (Wakil Dekan III Fakultas Syariah / Pakar Ilmu Falak Fakultas Syariah)
Tanggal 9 September 2024 menjadi hari yang tak biasa bagi warga Ponorogo. Hujan turun dengan intensitas cukup deras dan merata hampir di seluruh wilayah, meskipun saat ini secara kalender cuaca masih berada di musim kemarau. Kejadian ini bisa kita sebut sebagai sebuah anomali cuaca. Mengapa? Karena secara kalender musim, awal September di Ponorogo masih berada di puncak musim kemarau, dengan suhu yang cukup panas dan minim curah hujan. Namun, anomali ini ternyata membawa berkah tersendiri, terutama bagi beberapa wilayah yang sedang menghadapi kekeringan panjang.
Musim kemarau 2024 telah mencatatkan dampak signifikan bagi wilayah Ponorogo, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ponorogo mencatat, ada 9 wilayah yang terdampak kekeringan di Kabupaten Ponorogo memasuki awal September. Wilayah yang terdampak kekeringan ada di 9 dusun di 7 desa di 4 kecamatan di Ponorogo, yakni Kecamatan Slahung di Desa Duri dan Desa Wates, Kecamatan Pulung di Desa Sidoharjo dan Desa Karangpatihan, Kecamatan Bungkal di Desa Munggu dan Desa Belang, serta Kecamatan Sawoo di Desa Pangkal. Wilayah terbaru yang terdampak kekeringan yaitu di Dukuh Bungur, Desa Munggu Kecamatan Bungkal dan Dukuh Krajan, Desa Pangkal, Kecamatan Sawoo. Kekeringan yang melanda beberapa pekan terakhir telah menyebabkan sumber air di desa-desa tersebut mengering, dan warga pun kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga BPBD harus melakukan dropping air bersih ke daerah kekeringan tersebut.
Selain itu, kekeringan juga memperburuk risiko kebakaran hutan, terutama di wilayah perbukitan yang mengelilingi Ponorogo. Beberapa kasus kebakaran hutan selama musim kemarau tahun 2024 ini antara lain: Tanggal 29 Agustus 2024, terjadi kebakaran hutan di Petak 18, 19 KPH Lawu, RPH Watubonang BKPH Ponorogo Barat, Desa Karangan. Tanggal 26 Juli 2024, terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Tugurejo Kecamatan Sawoo dan Desa Karanglo Kidul Kecamatan Jambon. Tanggal 19 Agustus 2024, terjadi kebakaran hutan dan lahan di Gunung Gombak. Dan tanggal 1 September 2024, terjadi kebakaran hutan dan lahan di Petak 46 RPH Karangpatihan BKPH Ponorogo Barat, KPH Lawu, tepatnya di Dukuh Puh Gading, Desa Ngendut, Kecamatan Balong.
Ketika warga sudah terbiasa dengan terik matahari yang menyengat, tanggal 9 September 2024 datang sebagai kejutan manis bagi warga Ponorogo, dengan turunnya hujan yang cukup deras di sebagian besar wilayah Ponorogo. Bagi sebagian orang, hujan ini mungkin terasa aneh dan di luar dugaan. Bagaimana mungkin di tengah musim kemarau, hujan deras datang?
Anomali cuaca ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah perubahan iklim yang mempercepat ketidakpastian cuaca. Kondisi atmosfer yang tidak stabil bisa memicu pembentukan awan hujan, meski kalender cuaca menunjukkan sebaliknya. Dalam konteks perubahan iklim global, anomali semacam ini memang tidak bisa diprediksi dengan mudah, tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk beradaptasi.
Meski terjadi di musim yang salah, hujan ini disambut gembira oleh banyak orang. Warga di kecamatan-kecamatan yang terdampak kekeringan, merasa lega karena setidaknya untuk sementara waktu, persediaan air mereka bisa bertambah. Secara psikologis, hujan ini juga memberi harapan dan rasa tenang bagi masyarakat yang telah cukup lama menghadapi ancaman kekeringan. Ada semacam optimisme bahwa cuaca yang anomali ini menjadi pertanda baik bagi bulan-bulan mendatang. Hujan ini, meskipun tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan, telah memberikan jeda yang sangat dibutuhkan dari kondisi alam yang menekan.
Selain anomali cuaca, Ponorogo juga mengalami anomali perencanaan yang memberikan manfaat besar bagi sektor pertanian. Biasanya, petani menanam padi pada musim tanam yang sesuai dengan datangnya hujan, sekitar akhir tahun. Namun, saat ini, banyak petani di beberapa kecamatan seperti Sambit, Jetis dan sekitarnya yang menanam padi di puncak musim kemarau. Hal ini dimungkinkan berkat perencanaan tata kelola air, dengan adanya Bendungan Bendo di Kecamatan Sawoo.
Bendungan ini menyediakan suplai air yang melimpah, sehingga saat musim kemarau panjang, air bendungan disalurkan ke lahan-lahan pertanian, sehingga para petani tetap bisa menanam padi di luar musim tanam biasanya. Anomali ini, yang biasanya dianggap mustahil terjadi tanpa ketersediaan air yang cukup, justru menjadi inovasi pertanian yang menguntungkan. Para petani tidak lagi sepenuhnya bergantung pada musim hujan untuk bercocok tanam, dan ini meningkatkan produktivitas lahan pertanian secara signifikan.
Dalam situasi seperti ini, kita bisa melihat bahwa tidak semua anomali bersifat buruk. Hujan yang turun di Ponorogo pada tanggal 9 September 2024, meski terjadi di tengah musim kemarau, adalah contoh dari anomali yang membawa kebaikan. Demikian pula dengan anomali perencanaan yang memungkinkan petani menanam padi di puncak kemarau. Meskipun tidak biasa, kedua fenomena ini memberikan manfaat yang signifikan bagi manusia dan lingkungan. Dengan pengelolaan yang tepat, anomali bisa menjadi peluang besar untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan bagi berbagai tantangan.