Oleh: Lia Putri Anggraini, Mahasiswa Semester 1, Hukum Keluarga Islam
Sedang hangat dibicarakan publik, ada salah satu oknum tenaga pengajar di perguruan tinggi melakukan tindakan tak senonoh kepada mahasiswanya. Tindakan tersebut mengarah pada pelecehan seksual yang berujung pada dugaan pornoaksi.
Tanpa kita sadari, ternyata pelecehan seksual kerap kita temui. Lalu bagaimana jika di jalan, di toko, di kampus atau bahkan kita sendiri mengalami atau melihat pelecehan tersebut?
Pelecehan seksual atau yang biasa disebut catcalling tidak hanya melakukan tindakan pornoaksi. Catcalling bisa saja hanya dengan memuji “kamu cantik, kamu seksi”, atau mengatakan kata-kata seksis yang eksplisit seperti, maaf, “p*y*d*ra atau b*k*ng kamu besar”. Hal seperti ini mungkin tidak banyak perempuan yang mengetahuinya bahwa tindakan tersebut termasuk pelecehan seksual.
Catcalling tidak hanya berhenti disitu. Bisa juga berupa “lirikan, siulan, menguntit atau menghalang-halangi jalan, memegang tubuh korban di bagian manapun, memperlihatkan gestur vulgar seperti menggigit bibir bawah tanda laki-laki tersebut sedang birahi”.
Tentu saja hal tersebut membuat perempuan marah, jika tindakan semacam itu dialami. Namun, para laki-laki yang melakukan catcalling malah berdalih jika itu hanyalah candaan.
Padahal, catcalling justru merupakan perbuatan tidak terpuji, menjijikan, dan menghina wanita. Catcalling menjadikan wanita sebagai objek seksual dan terlihat tidak lebih dari seonggok daging yang sedang berjalan tanpa memandang kesetaraan gender.
Fenomena catcalling juga sering dihubungkan dengan gaya berpakaian wanita yang terbilang terbuka sehingga menantang laki-laki untuk mengomentarinya. Padahal, ada penelitian yang menyebutkan bahwa negara-negara dengan wanita berpakaian tertutup (bahkan menggunakan cadar), seperti Mesir dan Lebanon, juga tidak terhindar dari catcalling.
Dengan kata lain, hubungan antara catcalling dengan stereotype cara berpakaian wanita hanya mengada-ada untuk dijadikan pembenaran otak kotor dalam diri pelaku catcalling tersebut. Apapun bentuknya, catcalling harus dihentikan karena dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan mental para wanita yang mengalaminya.
Para pelaku (yang umumnya laki-laki) juga harus diberikan pemahaman mengenai beberapa hal. Seperti menjaga pandangan, menahan hawa nafsu dan mempertebal iman. Jangan mentang-mentang “salah dia sih pakai baju seksi, aku kan jadi gini-gitu, blabla“. Hal ini mungkin banyak membuat perempuan marah, namun mereka cenderung tidak melawan. Sebaliknya, yang dapat dilakukan oleh wanita hanyalah menghindari kemungkinan berulangnya catcalling, misalnya mengganti pakaian dengan yang lebih longgar, mengganti arah rute jalan, atau hanya pura-pura mengacuhkannya.
Lebih dari itu, korban catcalling, bisa mengalami gangguan kesehatan mental dan mengakibatkan munculnya efek buruk, seperti, muncul perasaan terancam, penurunan harga diri yang terlihat dari cara berpakaian, ekspresi wajah atau emosi yang diperlihatkan secara umum, merasa tidak aman di jalan dan merasakan paranoid berlebihan.
Pidana Catcalling
Catcalling ini bisa dipidanakan. Di Belanda, catcalling terhitung sebagai perbuatan kriminal di mana pelaku bisa dikenakan denda sebesar 8.200 Euro (Sekitar Rp. 130 juta) atau dipidana dengan tiga bulan penjara. Sementara itu Prancis, melarang laki-laki untuk melakukan catcalling. Tidak hanya itu, mereka juga meminta wanita untuk lebih berani melaporkan kasus catcalling.
Saat ini, di Indonesia belum ada dasar hukum secara jelas yang menyebutkan kalau catcalling bisa dikenai hukum. Pelecehan verbal, saat ini, menggunakan gabungan beberapa pasal pada KUHP dan UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi untuk menyelesaikan kasus catcalling. Pelakunya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat bahwa ada Undang-Undang yang bisa dijadikan dasar hukum untuk melindungi korban catcalling. Bagi wanita yang menjadi korban catcalling, jangan takut untuk melaporkan dan berbagi pengalaman tentang catcalling agar semakin banyak yang sadar bahwa catcalling adalah pelecehan seksual.
Catcalling itu bukan pujian atau candaan, tapi pelecehan. Catcalling bisa dilawan. Jadi, jangan merasa takut untuk bertindak dan melaporkan tindakan catcalling yang dirasa sudah mengganggu aktivitas. Apalagi kalau sudah mempengaruhi emosi bahkan tindakan fisik.
Ingatkan diri sendiri bahwa wanita bukanlah objek, sehingga tidak perlu merasa rendah diri. Tetaplah percaya diri tanpa mendengarkan ungkapan atau kalimat catcalling yang mengganggu. Bersikaplah seperti biasa tanpa menghiraukan catcalling. Pilih tempat yang ramai, sehingga tidak ada kesempatan bagi “mulut-mulut” para laki-laki untuk melakukan catcalling. Manfaatkan sosial media untuk membagikan cerita tentang catcalling sehingga banyak orang yang sadar mengenai hal ini. Baik korban dapat berani bertindak dan pelaku juga menyadari bahwa tindakannya ini salah.
Belajar dari Cinta Laura
Lawan catcalling versi Cinta Laura ini mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Cinta menceritakan berdasarkan pengalaman nyata yang pernah dialaminya.
Perempuan 27 tahun tersebut mempraktekkan teknik 5D untuk melawan pelecehan seksual di ruang publik. Teknik 5D itu di antaranya; Ditegur, Didokumentasikan, Dialihkan, Ditenangkan, dan Dilaporkan.
Meski teknik 5D bisa diterapkan melawan pelecehan seksual, namun Cinta juga mengingatkan para korban untuk bisa membaca situasi agar hati-hati dan mengutamakan keselamatan diri sendiri.
Kesimpulannya, catcalling bukanlah bahan candaan melainkan tindakan pelecehan seksual. Jangan takut untuk melaporkan jika mengalami tindakan tersebut, karena sudah ada Undang-Undang yang bisa dijadikan dasar untuk melindungi korban catcalling.