Fasya Media Center – Selasa, 27 Agustus 2024 Aula Fakultas Syariah IAIN Ponorogo penuh dengan sivitas akademika berdiskusi. Diskusi dengan mengambil tema diskusi hukum “Kontestasi Politik Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 60/PUU-XXII/2024”, di latarbelakangi oleh kegelisahan dosen-dosen Fakultas Syariah. Kegelisahan tersebut akhirnya di tindak lanjuti oleh Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Ponorogo dan Fakultas Syariah dengan diskusi hukum tersebut.
Diskusi hukum ini direspon antusias oleh seluruh sivitas akademika Fakultas Syariah dengan dihadiri peserta diskusi yang membludak dan pemateri-pemateri yang kompeten.
Endrik Safudin, S.H., M.H., selaku Sekretaris LKBH sekaligus dosen Fakultas Syariah berbicara mengenai latar belakang terjadinya polemik akibat disahkannya putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024. Pengajuan judicial review oleh masyarakat karena terjadinya antinomi hukum Antinomi hukum itu sendiri adalah penyalahan norma karena ketidakharmonisan aturan hukum yang berlaku atau terjadinya pertentangan hukum antar pasal-pasal yang berlaku.
Dr. Dewi Iriani, S.H., M.H (dosen Fakultas Syariah) turut menjelaskan apabila terjadi ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan lembaga negara yang berhak menyelesaikan permasalah ini adalah Mahkamah Konstitusi. MK berwenang dalam melakukan judicial review atau uji materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang dalam melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sehingga dua lembaga negara ini lah yang berhak untuk mengembalikan harmonisasi antar aturan hukum yang ada.
Kemudian Wahyu Saputra, M.H.Li yang membahas mengenai Politik Hukum dan Dinamika Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Revisi Undang-Undang, disampaikan bahwasanya adanya polemik ini tidak hanya dari putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 namun Putusan MK No.70/PUU-XXII/2024 terkait batas usia calon presiden. Meskipun sudah jelas tujuan dari diadakannya judicial review dari Undang-Undang tersebut tidak luput dari pandangan negatif masyarakat sehingga menimbulkan polemik dan politisasi dari putusan tersebut.
Kepala Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Martha Eri Safira, M.H. turut membahas mengenai Dampak dari adanya Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 terhadap masa depan Pilkada. Sebelum itu adapun dampak dari adanya putusan tersebut adalah memberikan perubahan krusial terhadap aturan ambang batas pencalonan Kepala Daerah, kemudian penurunan Threshold partai politik berakibat sejajarnya aturan Threshold dengan jalur independen. Pengujian Undang-Undang tidak hanya harus memenuhi asas demokrasi, tetapi juga tidak bertentangan dengan prinsip dasar UUD 1945. Sejatinya menurut kebijakan politik peraturan perundang undangan haruslah menerjemahkan undang undang itu sendiri dan harus sesuai dengan UUD 1945.
Pradhipta Erfandhiarta, S.H., M.H. yang berprofesi sebagai Advokat dan Pengajar di Fakultas Syariah berbicara mengenai Dinasti Politik dan Dekadensi Dekorasi dalam pandangan Etika Politik. Pradhipta sapaan akrabnya menyampaikan Homo Ethicus adalah dimana manusia baru bisa disebut manusia apabila dia mendasarkan perilakunya pada etika dan sejatinya manusia merupakan zoon politicon, dimana maksud dari hal tersebut adalah manusia merupakan binatang yang berpolitik. Yang dimana dalam berpolitik haruslah mengedepankan etika hal itu lah yang membedakan manusia dengan hewan. Politik haruslah beretika karena pada dasarnya politik lah yang membeda manusia dengan hewan. Hewan tidak lah berpolitik berbeda dengan manusia yang dalam kehidupan nya berpolitik. Tidak hanya asal dalam berpolitik, sebagai manusia berpolitik haruslah beretika. Karena hukum yang lahir haruslah berlandaskan pada etika.
Paparan materi dalam diskusi ini ditutu dengan penyampaian materi oleh Guru Besar Fakultas Syariah, Prof. Dr. H. Abdul Mun’im Soleh, M. Ag. Beliau menyampaikan pokok bahasan mengenai Pokitik Dinasti dan Dekadensi Dekorasi dalam perspektif Hukum Islam. Dalam pandangan Islam etika politik itu sendiri dibangun dari etika-etika pribadi. Indonesia merupakan negara demokrasi tetapi banyak pejabat yang melakukan pemerintahan seperti dinasti “Bentuknya Dinasti tetapi Baju nya Demokrasi” hal ini merupakan ketidakjujuran. Mengenai Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 perlu dipertanyan mengenai kemaslahatan dari putusan tersebut. Putusan tersebut disahkan demi kepentingan Ra’i (pemimpin) atau Ra’iyah (rakyat)?. Apabila putusan tersebut demi kepentingan pemimpin maka putusan tersebut tidak maslahah namun apabila putusan tersebut demi kepentingan masyarakat atau rakyat maka putusan tersebut dapat dikatakan maslahah.
Namun sebaik apapun hukum apabila penegak nya buruk, maka tidak akan tercapainya keadilan dalam negara tersebut. Dan begitupun sebaliknya seburuk apapun hukum yang berlaku, selama baik penegaknya, maka akan tercapailah keadilan
Reporter: Tim FMC