Fasya Media Center – Kupang, Nusa Tenggara Timur — Sejarah baru astronomi Indonesia sedang ditulis dari langit timur Nusantara. Pada tanggal 7–11 Oktober 2025, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Mr. Otani, engineer optik dari Kyoto University, Jepang, melaksanakan tahap Engineering First Light Teleskop Timau, teleskop optik terbesar di Asia Tenggara. Kegiatan ini menjadi momen penting untuk menilai ketepatan sistem optik, kesejajaran cermin, serta stabilitas mekanik teleskop berdiameter 3,8 meter yang dibangun di Observatorium Nasional Timau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tahap engineering first light merupakan langkah fundamental sebelum teleskop benar-benar siap digunakan untuk pengamatan ilmiah (scientific first light).
Proses uji ini dipimpin oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, M.Si., peneliti utama BRIN sekaligus astronom senior yang selama ini menjadi penggerak utama pengembangan observatorium nasional. Dalam tim tersebut juga bergabung Ahmad Junaidi, dosen astronomi/ilmu falak Fakultas Syariah UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo dan anggota tim riset BRIN, bersama sejumlah peneliti optik, mekanik, dan instrumentasi yang berasal dari Pusat Riset Antariksa BRIN maupun dari ITB.
“Tahap engineering first light adalah pengujian kritis yang menentukan akurasi sistem teleskop. Di sinilah kita melihat bagaimana cahaya dari bintang difokuskan dengan benar ke bidang detektor. Data dari proses ini akan menjadi dasar evaluasi teknis sebelum sistem dioperasikan secara ilmiah,” jelas Prof. Thomas Djamaluddin.
Selama beberapa, Mr. Otani dari Kyoto University memimpin proses penyelarasan optik (optical alignment) dan kalibrasi sistem fokus. Ia bekerja bersama tim BRIN untuk memastikan sistem reflektor utama dan sekunder berada dalam posisi presisi mikrometer.
“Hasil pengujian menunjukkan performa optik yang baik, namun masih diperlukan beberapa penyesuaian minor pada sistem fokus dan tracking untuk mencapai kondisi ideal,” ujar Mr. Otani, yang telah berpengalaman dalam commissioning teleskop besar di Jepang dan Asia Timur.
Dari kegiatan ini, tim menemukan sejumlah catatan penting yang akan menjadi bahan evaluasi teknis, di antaranya akurasi sistem pointing, serta distribusi pencitraan (Point Spread Function) yang diukur dari beberapa bintang standar di langit selatan. Data tersebut akan digunakan untuk perbaikan dan penyempurnaan sistem sebelum memasuki tahap scientific first light fase ketika teleskop resmi digunakan untuk observasi ilmiah terhadap objek-objek langit redup seperti nebula, galaksi, dan supernova.
Menurut Ahmad Junaidi, keterlibatan ilmuwan internasional dari Kyoto University Jepang menunjukkan bahwa pembangunan Observatorium Timau bukan hanya proyek nasional, tetapi juga bagian dari kolaborasi sains global.
“Proses engineering first light ini menjadi langkah penting untuk menyiapkan Timau sebagai pusat riset astronomi modern yang terhubung dengan jejaring observatorium dunia,” ungkapnya.
Tahap engineering first light ini menandai bahwa Indonesia kini berada di ambang era baru astronomi profesional. Dari puncak Timau, cahaya pertama ilmu pengetahuan telah mulai menembus langit Nusantara menghubungkan bangsa ini dengan jaringan pengamatan global di bawah langit selatan.
Sumber: Ahmad Junaidi
Editor: FMC