Oleh: Dr. Ahmad Junaidi, M.H.I. (Wakil Dekan III Fakultas Syariah / Pakar Ilmu Falak Fakultas Syariah)
Salah satu perkembangan pemikiran dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia abad ke 21 adalah digaungkannya integrasi sains dan agama dengan berbagai varian istilah yang digunakan. Pemikiran ini yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Keagamaan menjadi Universitas Islam dengan memasukkan pendidikan sains menjadi bagian tidak terpisahkan dari pendidikan keagamaan.
Saat ini Institut Agama Islam Negri/IAIN Ponorogo sedang berproses dalam transformasi kelembagaan menuju Universitas Islam Negeri/UIN. Transformasi kelembagaan dari IAIN menuju UIN ini dilatarbelakangi oleh harapan masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan era modern yang semakin kompleks dan harus berlandaskan nilai-nilai Islam, atau integrasi keilmuan. Pendirian UIN di Indonesia merupakan langkah strategis yang didasari oleh kebutuhan untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang memadukan nilai-nilai Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendirian UIN mencerminkan keinginan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam dengan tujuan menciptakan individu yang cerdas, beretika, dan berpengetahuan mendalam tentang ajaran agama Islam. Hal ini sejalan dengan visi negara Indonesia yang mengakui keberagaman dan memberikan ruang bagi pendidikan tinggi untuk mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sampai saat ini kehadiran IAIN dirasa belum mencukupi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memunculkan gagasan di kalangan pengambil keputusan bahwa IAIN tidak boleh sebatas mengembangkan fakultas-fakultas yang sudah ada (ushuluddin, syariah, tarbiyah, adab dan dakwah). Sesuai dengan universalitas ajaran Islam, IAIN hendaknya juga terbuka terhadap pengembangan ilmu-ilmu lain yang diyakini akan memperluas pemahaman terhadap nilai-nilai dan petunjuk yang tersirat dalam kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
MENENGOK SEJARAH
Dahulu, tepatnya pada abad ke-8 hingga abad ke-12, umat Islam hidup pada masa kejayaan, masa dimana ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat dan mencapai puncaknya. Pada masa ini, umat Islam menjadi pemimpin dunia karena pergumulan mereka ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka anut, khususnya ilmu pengetahuan murni (ilmu alam).
Pada masa tersebut muncul tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat dinamis dan terpercaya, misalnya Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Al-Ghazali dan lain sebagainya. Namun dalam perjalanan sejarahnya, relasi antara sains dengan agama telah mengalami dinamika. Sehingga umat Islam pernah mengalami fase dichotomy ilmu yang tercermin dari sikap maupun bentuk kelembagaan. Berbagai bentuk lembaga pendidikan di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari sikap dichotomy tersebut, sehingga sampai saat ini masih sulit untuk melepaskan diri dari stigma, bahwa pesantren dan IAIN adalah lembaga yang hanya mengajarkan ilmu agama.
RELASI AGAMA DAN SAINS DALAM PEMBELAJARAN ILMU FALAK
Pertanyaan yang sering muncul diantara kita adalah: Benarkah IAIN belum melakukan integrasi antara sains dan agama? Jawabannya tentu ada yang sudah dan ada yang belum. Salah satu contoh yang sudah melaksanakan integrasi sains dan agama adalah Fakultas Syariah IAIN Ponorogo. Salah satu contoh rielnya adalah dalam pembelajaran Ilmu Falak.
Pembelajaran Ilmu Falak bukan saja bersifat integratif, tetapi juga bersifat interkonektif. Paradigma integrasi-interkoneksi adalah suatu penggabungan dan penyambungan dari berbagai ilmu umum khususnya ilmu alam dengan ilmu-ilmu agama, karena pada hakekatnya berbagai ilmu pengetahuan itu saling berkaitan antara ilmu yang satu dengan yang lainnya.
Syariat agama Islam mayoritas berdimensi waktu. Sehingga kita banyak menjumpai penguat pesan dalam al-Qur’an (aqsam al-qur’an) yang menggunakan istilah waktu. Misalnya, wa al-duha, wa al-‘asr, wa al-layl dan lain sebagainya. Dalam syariat salat misalnya, kita dituntut untuk mengetahui masuk dan berakhirnya waktu salat. Sebagaimana firman Allah:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin. (al-Nisa’: 103)
Dalam usaha mengetahui waktu-waktu yang digunakan dalam pelaksanaan salat, fikih membutuhkan relasi/ilmu bantu berupa Ilmu Falak. Fikih tidak bisa secara mendiri menentukan dengan mudah kapan salat bisa dimulai dan harus diakhiri. Sehingga fikih membutuhkan relasi untuk mencapai tujuan syariat dengan menggunakan Ilmu Falak. Ilmu Falak sendiri juga bukan sebuah ilmu yang mendiri, dimana untuk keperluan mengetahui waktu salat, ilmu falak harus dikoneksikan dengan beberapa cabang ilmu lainnya, misalnya ilmu geografi yang digunakan untuk mengetahui koordinat tempat di seluruh permukaan bumi. Geografi ini kemudian menjadi pondasi dalam penentuan model perhitungan falakiyah, apakah didasarkan pada pemahaman bentuk bumi bulat atau datar, sehingga ilmu hitung matematis yang akan diadopsi dalam perhitungan falakiyah nantinya menggunakan teori trigonometri atau tidak. Demikian juga yang diaplikasikan dalam proses mengetahui arah kiblat.
Dalam hal terpenuhinya tuntutan syariat tentang pelaksanaan ibadah yang terkait dengan perhitungan hari, bulan dan tahun, interkoneksi fikih dengan ilmu falak lebih kompleks lagi. Selain beberapa cabang ilmu di atas, penentuan hari, bulan dan tahun membutuhkan beberapa cabang ilmu yang lain. Dalam hal observasi hilal untuk mengetahui masuknya bulan baru, ilmu falak harus menjalin relasi dengan fisika dalam hal penggunaan alat bantu optic untuk keperluan observasi. Pelaksanaan observasi juga membutuhkan penguasaan ilmu klimatologi dalam hal memilih dan menentukan tempat yang baik dan memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan observasi/rukyat.
Perkembangan teknologi menghendaki digitalisasi dalam semua aspek. Dalam kaitannya dengan ilmu falak, pembelajaran ilmu falak di IAIN Ponorogo sudah mengenalkan ilmu tentang coding kepada mahasiswa Syariah dengan beberapa platform pemrograman dalam rangka meningkatkan akurasi dan efisiensi hisab. Digitalisasi juga sudah dilaksanakan dalam ranah observasi dengan memanfaatkan ilmu digital image processing, sehingga hasil observasi yang didapatkan lebih objektif. Lebih jauh lagi pelaksanaan observasi juga sudah melibatkan disiplin ilmu robotika yang dimanfaatkan untuk pointing teleskop menuju objek tertentu dengan presisi dan akurasi tinggi.
Ini semua yang sudah dilaksasnakan di Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, sehingga harapannya ke depan, setelah transformasi IAIN Ponorogo menjadi UIN Kyai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, integrasi dan interkoneksi ini bisa bisa ditingkatkan lagi dengan mengadopsi pemanfaatan teknologi IoT (Internet of Think) bahkan memanfaat teknologi Artificial Intelligence secara lebih luas di berbagai disiplin ilmu.
Dari paparan ini menunjukkan, bahwa semangat integrasi keilmuan yang menjadi cita-cita dasar berdirinya UIN sebenarnya sudah dilaksanakan oleh IAIN Ponorogo, tinggal bagaimana kita menata dan menyiapkan paradigma yang khas bagi UIN Kyai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, sehingga ketika transformasi itu sudah tiba UIN Kyai Ageng Muhammad Besari langsung bisa melaksanakan aksi nyatanya. Semoga transformasi tersebut segera terwujud…amin.