Oleh: Khaidarulloh, M.H.I. (Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo)
Peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama (Kemenag) merupakan sebuah kegiatan untuk menggugah kembali tekad seluruh insan Kemenag agar meneruskan amal bhakti dalam melayani dan membimbing kehidupan beragama di Indonesia. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengikat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan serta meningkatkan rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sekitar. HAB diselenggarakan setiap tahun dengan mengusung tema yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Di tahun 2023, Kemenag mengusung tema “Kerukunan Umat, Indonesia Hebat.”
Kita mafhum, Kemenag adalah sebuah kementerian yang memiliki tanggung jawab dalam mengelola urusan agama di Indonesia. Kemenag didirikan pada tanggal 1 Maret 1946 setelah Indonesia meraih kemerdekaan dari Belanda. Pada awalnya, Kemenag bernama Departemen Agama dan Kepercayaan, yang kemudian berganti nama menjadi Departemen Agama pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1960, Departemen Agama kembali berganti nama menjadi Kemenag, sebagaimana kita akrab saat ini (historia.id).
Selama bertahun-tahun, Kemenag telah berperan besar dalam mengelola berbagai urusan agama di Indonesia, seperti: pendidikan agama dari level dasar hingga perguruan tinggi, pelaksanaan ibadah, pembinaan lembaga-lembaga keagamaan, serta penyebaran sikap dan pola pikir moderat dalam beragama. Kemenag juga bertanggung jawab dalam mengelola hajat hidup umat beragama di Indonesia dengan memberikan layanan kepada masyarakat dalam bidang agama, seperti pelaksanaan perkawinan hingga tata-kelola haji, zakat, infak dan sedekah.
Melihat akar historis dan kebermanfaatan Kemenag tersebut, maka penting untuk kita memaknai kembali bahwa peringatan hari jadi Kemenag atau HAB yang biasa kita lakukan tiap tahun bukan sekedar seremonial-formalistik, tetapi juga dapat dijadikan media refleksi untuk aksi-aksi transformatif berikutnya. Karena itu, dalam merayakan HAB, terdapat refleksi dan re-aksi yang perlu kita lakukan bersama-sama.
Refleksi bisa dimulai dengan memikirkan kembali segala sesuatu yang telah dilakukan dan terjadi selama perjalanan waktu. Refleksi dapat dilakukan dengan meninjau kembali sejarah, prestasi, keberhasilan, maupun kesalahan yang telah dilakukan. Refleksi pada hari jadi biasanya dilakukan untuk mengevaluasi perkembangan yang telah terjadi dan menyusun rencana untuk ke depannya. Sedangkan, re-aksi yang dimaksud lebih kepada tindakan yang akan dilakukan sebagai respons atas hasil refleksi. Re-aksi dapat berupa aksi untuk memperbaiki kekurangan atau meningkatkan kelebihan yang telah teridentifikasi melalui refleksi. Re-aksi juga dapat berupa perencanaan strategi atau tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kesalahan atau kegagalan di masa yang akan datang. Tentu, sebagaimana tema besar HAB tahun ini: “Kerukunan Umat, Indonesia Hebat,” maka kerukunan menjadi prioritas, dan itu dapat kita mulai dari kampus.
Menjaga Kerukunan Umat dimulai dari Kampus
Dalam level konseptual, kerukunan umat adalah suatu kondisi di mana umat beragama hidup damai dan saling menghargai satu sama lain, tanpa terjadi benturan atau konflik yang disebabkan oleh perbedaan agama atau keyakinan. Dengan terjaganya kerukunan umat, maka akan tercipta suasana yang damai dan sejahtera di masyarakat.
Untuk memaknai kembali kerukunan umat, pertama-tama kita harus mampu menghargai perbedaan yang ada di masyarakat. Setiap individu memiliki keyakinan, agama, dan budaya yang berbeda-beda, sehingga perlu adanya toleransi dan saling menghargai perbedaan tersebut. Selain itu, kita juga harus mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap umat beragama lain. Kemudian, kita juga harus mampu bersikap dialogis dan inklusif terhadap umat beragama lain. Menghadapi perbedaan tidak harus dengan menutup diri atau bersikap defensif, tetapi harus dengan membuka diri, dan mau belajar dari umat beragama lain. Melalui dialog dan komunikasi yang terbuka, kita dapat memahami dan saling menghargai perbedaan yang ada, sehingga tercipta suasana kerukunan umat yang lebih baik.
Selaras dengan Teori Dialog, Martin Burber, seorang ahli dalam dalam kajian Filsafat Komunikasi, mengatakan bahwa dialog intersubjektif, sebagaimana pola di atas, merupakan tipe dialog di mana antar individu tidak hanya saling berbagi ide dan informasi, tetapi juga saling memahami dan merasakan emosi, perasaan, dan pikiran yang diungkapkan oleh individu lain. Buber percaya bahwa dialog intersubjektif adalah cara terbaik untuk memahami dan merasakan hubungan yang sehat dan autentik dengan orang lain (Buber, 1970). Sikap dan pola pikir tersebut semestinya bisa dibawa ke wilayah lembaga pendidikan, seperti di IAIN Ponorogo, sehingga relevan dengan tema HAB tahun ini.
Mengaplikasikan dialog intersubjektif di sebuah lembaga selain bisa menjaga kerukunan, juga dapat membantu menghindari ego sektoral dan status quo–dua soal yang kadang muncul di lembaga. Ego sektoral terjadi ketika seseorang atau kelompok hanya memperhatikan kepentingan atau kebutuhan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan kepentingan atau kebutuhan orang lain atau lembaga secara keseluruhan. Sedangkan, status quo terjadi ketika seseorang atau kelompok hanya mempertahankan keadaan atau situasi yang ada, tanpa mencoba untuk meningkatkan atau mengubahnya. Nampak, bahwa ego sektoral dan status quo dapat mengganggu kerukunan (KBBI).
Dengan memaknai dialog intersubjektif sebagai model untuk menciptakan kerukunan, maka setiap individu atau kelompok di lembaga tersebut dapat saling memahami dan menerima pengalaman, pandangan, dan kebutuhan masing-masing. Ini dapat membantu mengurangi ego sektoral dan status quo, karena setiap individu atau kelompok akan lebih terbuka terhadap ide-ide atau perubahan yang datang dari luar kelompok mereka sendiri. Selain itu, dialog intersubjektif juga dapat membantu menciptakan iklim yang lebih kooperatif dan kolaboratif di lembaga, sehingga setiap individu atau kelompok optimal dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama secara rukun dan damai.
Tradisi Akademik untuk Kerukunan
Perguruan tinggi juga dapat memaksimalkan tradisi akademik yang dimilikinya untuk menjaga kerukunan di kampus seperti: kegiatan-kegiatan ilmiah untuk meningkatkan iklim akademik, kegiatan-kegiatan riset, atau kegiatan-kegiatan seminar dengan jaringan pakar yang up to date. Dengan memaksimalkan tradisi akademik tersebut, diharapkan para akademisi dapat terfokus pada kegiatan-kegiatan akademik yang positif dan tidak terpengaruh oleh ego sektoral atau status quo yang mungkin terjadi di kampus.
Kita yakin, tradisi akademik yang terus dijaga merupakan salah satu faktor yang dapat menjaga kerukunan di kampus. Dengan memaksimalkan tradisi akademik, dan aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan akademik dengan corak inklusif-progresif, diharapkan civitas akademika dapat merasa terhubung, dan merasa menjadi bagian dari keluarga besar perguruan tinggi tersebut (sense of belonging). Oleh karena itu, perguruan tinggi sebaiknya terus konsisten memperhatikan kualitas tradisi akademik dalam menjaga kerukunan di kampus tanpa memandang latar belakang agama, mazhab, sosial atau afiliasi organisasi.
Dari beberapa analisis di atas, nampak bahwa tradisi dialog intersubjektif dan tradisi akademik yang baik di perguruan tinggi merupakan dua faktor penting yang dapat memupuk kerukunan umat di kampus. Tradisi dialog intersubjektif yang berkualitas dapat menjadi sarana untuk saling mengelola, memahami dan menghargai perbedaan yang ada pada civitas akademika di kampus. Sedangkan tradisi akademik yang baik dapat memberikan kesempatan yang sama bagi civitas akademika untuk mengikuti kegiatan-kegiatan akademik yang berkualitas, sehingga tercipta suasana kerukunan umat yang lebih baik di kampus.
Dengan terciptanya kerukunan umat di kampus, diharapkan dapat terjadi perubahan positif-transformatif di masyarakat luas. Kerukunan umat di kampus dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat luas. Alhasil, kedua tradisi yang baik di perguruan tinggi tersebut mampu memupuk dan menjaga kerukunan umat yang di mulai dari kampus untuk manfaat yang lebih besar: Indonesia Hebat.