Oleh : Soleh Hasan Wahid (Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo)
Pembelajaran secara daring (dalam jaringan), bagaimanapun juga tetap ada plus-minusnya. Sudah ribuan murid dan guru mengeluh soal efektivitas belajar-mengajar di kala pandemi ini. Bagi guru, efeknya tidak seberapa, tapi bagi calon generasi penerus bangsa yang biasa disebut “agent of change”, kondisi ini sangat memprihatinkan.
Seandainya Al-Bukhari hidup di masa ini, beliau pasti masih memiliki kesimpulan yang sama, yakni tetap mensyaratkan adanya pertemuan antarperawi, walaupun hanya bertemu sekali.
Imam Bukhari tidak hanya mengharuskan sezaman (al-mu’ashirah) saja antara para perawi, akan tetapi harus terjadi pertemuan (al-liq’a), sekalipun hanya terjadi sekali.
Begitulah kiranya unsur minus dari daring ini, meskipun kondisi zaman sudah berbeda, “bisa bertemu via online meeting”, namun tetap saja kualitasnya tidak sama dengan tatap muka secara langsung.
Mengapa demikian? Sebab, kualitas “keguruan” dan “kemuridan” setiap orang di masa ini masih dipertanyakan. Lha wong, Imam Bukhari saja masih mempertanyakan pertemuan antara guru dan murid yang jelas kualitasnya, apalagi yang tidak jelas kualitasnya seperti zaman sekarang.
Saya rasa tidak perlu panjang lebar membahas teori hadist di atas. Pada pokoknya, permisalan di atas hanya menggambarkan bagaimana kualitas pembelajaran daring saat ini. Faktanya, dari berbagai keluhan orang tua wali, daring memang banyak minusnya, dan yang paling terkena efeknya tentu si murid. Inilah mengapa lulusan jalur pandemi adalah yang paling merugi.
Kedua pejuang di atas, yakni guru dan murid, masing-masing merasakan efek negatifnya dan Saya yakin keduanya sudah sangat rindu untuk saling bertatap muka. Bagaikan rindunya Romeo & Juliet, bahkan hampir menyamai kerinduan Siti Hawa dan Nabi Adam As. Mungkin, jika tatap muka diperbolehkan, murid dan guru ini akan melampiaskannya seperti pertemuan beliau berdua, Siti Hawa dan Nabi Adam di Jabal Rahmah. Mungkin loo ya. Kenapa “mungkin”? Sebab faktanya, tidak semua guru dan murid mengalami kerinduan yang sama.
Mengapa rugi? Bukankah sama-sama belajarnya? Guru pun dengan segala kreatifitasnya juga mampu mengajar daring dengan baik. Lalu apa masalahnya?
Mari kita lihat beberapa fakta dan klasifikasi model mengajar guru dan model belajar murid di sekitar Saya.
Saya mulai dari guru dulu. Setidaknya, ada tiga klasifikasi guru dilihat dari sudut pandang cara mengajar daringnya.
Pertama, guru ahli IT plus paham metode mengajar. Guru jenis ini tentunya memiliki segudang teknik yang mampu menumbuhkan gairah belajar murid dan sekaligus bikin konten yang menarik bagi murid, “KONTEN IS THE KING” begitulah kata Christopher Pappas.
Kedua, guru ahli IT yang tidak paham metode mengajar. Ini sudah jelas, mereka akan melakukan salin-tempel – (copy-paste) konten dari sana-sini, atau mungkin membuat aplikasi canggih yang kadang tidak relevan dengan kegiatan belajar.
Ketiga, paham metode mengajar, sayangnya tidak bisa IT. Guru ini kemungkinan besar akan memanfaat Zoom atau Meet. Atau kalau mau mereka akan menyewa tim IT.
Keempat, tidak paham IT dan tidak paham metode mengajar. Sudah bisa kita bayangkan apa yang akan dilakukan. Semoga saja tidak ada praktik malas mengajar atau Saya sebut sebagai guru yang terkena dampak pandemi kelas akut.
Rugi Murokab
Nah, masalahnya bukan hanya terletak pada guru, si murid juga demikian. Bila dikategorikan, jenisnya juga tidak jauh berbeda dengan klasifikasi guru di atas. Bedanya, dari sisi tingkat kemalasan, ada yang malasnya tambah akut, ada yang rajinnya bukan main.
Masing mending jika si murid rajin, bertemu dengan “guru akut”, minimal mereka bisa mencari sumber materi dari sana-sini, yang bahkan pemerintah pun kini ikut andil menyediakan materi secara gratis.
Bisa dibayangkan, bila guru yang tidak paham IT dan tidak paham metode mengajar tadi bertemu si murid yang malasnya sudah tingkat akut. Membuka e-learning saja tidak. Bisa dibayangkan bagaimana hasilnya.
Sebenarnya, pembelajaran daring juga tidak seburuk itu, dengan daring ada juga hikmahnya, jutaan data di internet yang selama ini belum begitu banyak tersentuh, kini mulai disadari urgensinya. Beberapa guru, baik kategori ahli IT maupun yang malas akut, sudah mulai sadar.
Masalahnya, hanya segelintir murid yang sudah sadar sehingga hikmah semacam ini pun juga tidak didapatkan. Sudah malas akut, tidak membuka e-learning ditambah bertemu dengan guru malas akut, inilah calon lulusan jalur pandemi yang rugi murokab.
Terakhir, karena Saya juga seorang pengajar, ingin berpesan, wahai Mahasiswa, kondisi pandemi dan daring ini sudah merupakan hambatan dalam proses belajar. Jangan sampai, malas akut menjadi virus selanjutnya, bila tidak Anda akan menjadi lulusan jalur pandemi yang sungguh merugi bertubi-tubi.