Jumat, 01 Maret 2024, dua personel Watoe Dhakon Observatory Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo (Dr. Ahmad Junaidi, M.H.I. dan Hj. Novi Fitia Maliha, M.S.I.) mendapat undangan menjadi narasumber Pembinaan Rukyatulhilal untuk Kepala Kantor Urusan Agama dan Penyuluh Agama Islam kabupaten Ponorogo. Acara yang dilaksanakan di aula al-Ikhlas Kantor Kementerian Agama Ponorogo tersebut diikuti oleh 21 Kepala KUA dan 21 Penyuluh Agama Islam, dengan 3 orang narasumber: 2 orang merupakan personel Watoe Dhakon Observatory dan 1 orang dari Pondok Pesantren Darul Huda yang semuanya merupakan anggota Badan Hisab Rukyat Ponorogo.
Acara dipandu langsung oleh Kepala Seksi Pembinaan Masyarakat Islam (Bimas Islam) H. Hayat Prihono Wiyadi, M.H., dimulai tepat pukul 09.00 WIB. dan dibuka secara resmi oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ponorogo Dr. H. Moh. Nurul Huda, M.Pd. Dalam sambutannya, Kepala Kakankemenag Kabupaten Ponorogo menjelaskan pentingnya acara tersebut. Menurutnya, Kepala KUA dan Penyuluh Agama Islam adalah agen informasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sebagai agen informasi, maka pemahaman terhadap isu-isu yang sensitif di masyarakat harus betul-betul dikuasai, sehingga mereka bisa memberi penjelasan yang baik kepada masyarakat, bukan sebaliknya. Terkait dengan masalah penentuan awal bulan dan hari raya yang rentan perbedaan, agen informasi harus mengetahui data, sehingga informasi yang disampaikan adalah informassi yang valid.
Setelah dibuka secara resmi oleh Kakankemenag, acara dilanjutkan dengan paparan materi dari 3 narasumber. Dimulai dengan paparan Hj. Novi Fitia Maliha, M.H.I. yang memaparkan materi perspektif Muhammadiyah. Pada kesempatan tersebut beliau menyampaikan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 1/MLM/I.0/E/2024 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah 1445 Hijriah. Menurutnya, maklumat tersebut bersifat struktural, artinya maklumat ini harus dan akan dilaksanakan sseluruh anggota mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah. Lebih lanjut Hj. Novi menyampaikan, bahwa hisab Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudulhilal dengan beberapa persyaratan: sudah terjadi konjungsi, pada saat matahari terbenam hilal sudah berada di atas ufuk dengan menggunakan Yogyakarta sebagai markas perhitungannya, serta menggunakan mathla’ wilayatulhukmi. Dengan demikian, meskipun wilayah Maluku sampai Papua posisi hilal secara hisab masih minus derajat, wilayah tersebut akan dianggap mengikuti wilayah yang sudah positif.
Paparan berikutnya adalah dari H. Umar Salim, M.Pd. yang berbicara dalam perspektif Nahdlatul Ulama. Meski Nahdlatul Ulama dikenal dengan mazhab rukyat, sebenarnya di dalam Nahdlatul Ulama justru sangat banyak model hisab yang berkembang, demikian menurutnya. Pada kesempatan tersebut H. Umar menyampaikan 9 macam model hisab yang berkembang di Nahdlatul Ulama yang diklasifikasi dalam 3 macam: taqribi, tahqiqi dan tadqiqi. Secara umum, menurut berbagai hisab yang berkembang di Nahdlatul Ulama, kondisi hilal Ramadan saat ghurub pada hari terjadinya konjungsi belum memenuhi persyaratan untuk bisa dirukyat. Sehingga kemungkinan besar hilal tidak bisa dirukyat. Namun demikian Nahdlatul Ulama tetap akan melaksanakan rukyat pada hari Ahad 10 Maret 2024 sebagai pengamalan terhadap perintah yang bernilai fadlu kifayah. Namun Nahdlatul Ulama tidak langsung membuat keputusan tentang awal Ramadan sebelum ada isbat dari pemerintah.
Setelah paparan hisab perspektif Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dilanjutkan dengan paparan terakhir dari Dr. Ahmmad Junaidi, M.H.I. membawa perspektif pemerintah dalam penentuan awal bulan hijriah di Indonesia. Menurutnya, pemerintah pemerintah juga harus punya peran dalam usaha penyatuan dan meminimalisir perbedaan penentuan awal bulan hijriah serta dampak-dampak yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut, sehingga posisi pemerintah bisa sebagai hakim yang memberi keputusan final terhadap perbedaan yang ada dengan pelaksanaan sidang isbat. Dari sisi metode pemerintah juga sudah memberikan tawaran solusi dengan teori imkan rukyat yang diharap bisa menyatukan mazhab rukyat dan mazhab hisab. Di akhir paparannya, Ahmad Junaidi menyampaikan dinamika kriteria imkan rukyat yang terus mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi sehingga diharapkan bisa diterima oleh semua pihak.