Oleh: Abid Rohmanu
Kasus harian Covid-19 secara nasional per 24 Juni 2021 menembus angka 20.574. Ini adalah kasus tertinggi sejak awal pandemi di Indonesia pada awal Maret 2020 (Kompas, 25/6/2021). Di Jawa Timur terjadi pula lonjakan kasus dengan beberapa kabupaten ditetapkan sebagai zona merah, Bangkalan, Ngawi, dan Ponorogo (Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, 24/6/2021). Lonjakan kasus harian disinyalir karena tingginya mobilitas masyarakat pada masa lebaran Idul Fitri 2021 dan munculnya varian baru (delta) yang agresif dan lebih mudah menular.
Pandemi Covid-19 memilukan dunia pendidikan. Selama tiga semester, mahasiswa melaksanakan pembelajaran jarak jauh dengan segenap problematikanya. Pada awal tahun akademik baru (2021-2022), IAIN Ponorogo merencanakan perkuliahan tatap muka dengan model blended. Semester I dan III secara bergantian melaksanakan perkuliahan daring/luring, sementara semester V dan VII murni daring.
Di tengah situasi pandemi yang memburuk, perlukah penundaan tatap muka perkuliahan? Bagaimana kesiapan penerapan protokol kesehatan? Apa yang perlu dilakukan jika perkuliahan masih menuntut jarak jauh?
Tunda Jika Tidak Siap
Sungguh pun hanya semester I atau III yang masuk secara bergantian, jumlah mereka tidak bisa dibilang sedikit. Quota mahasiswa baru (smt 1) Fasya misalnya, adalah 450-an. Ini belum Fatik dan Febi yang peminatnya banyak. Untuk Fatik dan Febi bahkan rata-rata perkelas di atas 30 mahasiswa.
Jumlah ini tentu sangat riskan dalam kaitannya dengan penerapan prokes. Sampai detik ini belum dibicarakan bagaimana teknis dan penanggung jawab teknis penerapan protokol kesehatan. Persoalannya tidak sekedar pada 3 M, tetapi juga berkaitan dengan antara lain penyiapan infra struktur pendukung (ketercukupan tempat cuci tangan), sterilisasi secara periodik, pengecekan kesehatan civitas, dan ketersediaan jaringan internet di kelas. Yang terakhir penting jika kelas diikuti lebih dari 25 mahasiswa yang menuntut kehadiran 50%.
Selain faktor kesiapan teknis, penundaan tatap muka perkuliahan bisa dilakukan secara fluktuatif mengikuti dinamika penularan covid di tingkat lokal. Perkuliahan tatap muka bisa dilakukan secara buka-tutup. Fleksibilitas buka-tutup ini mengikuti dinamika warna zona wilayah. Buka-tutup ini juga diselaraskan dengan PPKM mikro di tingkat desa. Adalah Riskan untuk menerobos zona merah. Keselamatan bagaimanapun menjadi prioritas utama.
Menyiapkan Dosen
Perkuliahan daring menjadi tak terhindarkan. Beberapa riset menunjukkan perkuliahan daring pada semester I dan II masa covid belum menunjukkan efektivitasnya (lihat di antaranya, Abid Rohmanu et al.: 2020 di http://103.88.229.8/index.php/tadzkiyyah/article/view/7019). Perkuliahan umumnya masih bersifat monoton atau belum ada inovasi dan kreativitas untuk merangsang mahasiswa belajar aktif dan mandiri. Karena itu evaluasi perkuliahan daring perlu dilakukan secara mendalam. Evaluasi tidak sekedar berkaitan dengan pemenuhan laporan formal perkuliahan daring, tetapi juga pada tingkat efektivitas berbasis pada inovasi dan kreativitas. Institut dan Fakultas bisa melakukan apresiasi terhadap dosen yang inovatif dalam penyelenggaraan perkuliahan daring dan begitupan sebaliknya. Lembaga Penjaminan Mutu dan Gugus Mutu Fakultas menjadi leading sector persoalan ini.
Tuntutan di atas dibarengi dengan berbagai kegiatan pendukung yang bisa membantu dosen mengembangkan pembelajaran daring. Pengembangan bisa berkaitan dengan penerapan kurikulum masa pembelajaran daring. Penerapan kurikulum dikontekstualisasi sehingga mahasiswa bisa lebih banyak belajar dan praktik di rumah. Kemandirian belajar ini harus tetap menjaga interaksi produktif antara dosen dan mahasiswa dengan menggunakan platform online tertentu. Interaksi produktif tidak sebatas bersifat formal, tetapi juga pelibatan dimensi emosional sebagai bagian pendidikan karakter yang harus tetap dipertahankan. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri vis a vis sistem pembelajaran maya dengan pemanfaatan aplikasi digital. (*Wadek I Fakultas Syariah IAIN Ponorogo).