Oleh: Asit Defi Indriyani (Alumni Fakultas Syariah, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ponorogo)
Perempuan yang berhadapan dengan hukum seringkali masih dipenuhi dengan problem. Entah mereka sebagai korban, sebagai saksi, bahkan sebagai pelaku sekalipun. Padahal, negara mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa perempuan mendapatkan keadilan serta bebas dari segala diskriminasi dalam sistem peradilan. Karena kerap kali perempuan tidak mendapatkan hal tersebut dalam setiap level proses hukum.
Seringkali perempuan yang berhadapan dengan hukum dengan kasus kekerasan seksual khususnya, hampir tidak menemui titik terang dalam penyelesaian kasus yang dialaminya di mata hukum. Alih-alih menyelesaikan kasusnya di mata hukum, perempuan yang seringkali dalam posisi korban justru jauh dari kata perlindungan. Bagaimana tidak, dalam kasus kekerasan seksual aparat penegak hukum (APH) justru melakukan victim blaming, kriminalisasi, bahkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan yang seakan justru menyudutkan perempuan (korban) yang berada dalam posisi bersalah. Bisa dibayangkan, sudah menderita fisik dan juga psikis, korban masih harus mempersiapkan mental kuat-kuat untuk mengahadapi APH.
Tujuan awal sebenarnya ingin mencari keadilan melalui jalur litigasi, justru membuat perempuan merasa takut duluan karna mengetahui bagaimana sikap APH terhadap perempuan korban kekerasan. Lebih parahnya lagi sampai di bujuk-bujuk untuk mengambil jalan damai, dengan kata lain menikah dengan pelaku. Bisa terbayang, meskipun menikah dengan pelaku itupun tidak menutup kemungkinan pelaku akan melakukan kekerasan kembali. Belum lagi kepolisisan menjatuhkan pasal yang tidak tepat dengan konsekuensi hukuman yang lebih ringan terhadap pelaku karena memakai pasal seadanya. Hal itu dikarenakan memang belum ada lex specialist untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia. Maka di sinilah peran pendamping untuk memastikan korban merasa aman dalam setiap proses mencari keadilan di mata hukum dan memastikan pasal yang menjerat pelaku adalah pasal yang paling tepat.
Proses hukum yang dialami perempuan memang tidaklah mudah dan singkat. Dari latar belakang kepahitan yang dirasakan perempuan yang berhadapan dengan hukum, beberapa regulasi kemudian di terbitkan dalam rangka untuk memastikan akses terhadap keadilan dan peradilan yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan dan anak. Yaitu dengan adanya SK Ketua Mahkamah Agung No.88/KMA/SK/V/2016 tentang Pembentukan kelompok Kerja Perempuan dan Anak. Perwakilan dari kelompok kerja tersebut kemudian mengikuti lokakarya Hakim Perempuan se-Asia Tenggara di Bangkok pada bulan Juni 2016 yang memuat terkait konsep dasar tentang Gender, penerapan prinsip kesetaraan gender, panduan dalam menerapkan perspektif gender saat mengadili perkara, dan rekomendasi bagi Negara peserta lokakarya untuk mengembangkan sistem peradilan yang lebih sensitif gender.
Di Indonesia, bentuk tindak lanjut dari lokakarya itu adalah Mahkamah Agung (MA) berencana membuat peraturan terkait penanganan perempuan di pengadilan. Hingga akhirnya pada 4 Agustus 2017 MA akhirnya mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.03 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Pada umumnya, di dalam proses penegakan hukum harus berlandaskan pada empat asas yaitu asas persamaan di depan hukum (equality before law), asas kepastian hukum (rechtssicherkeit), asas keadilan (gerechtigkeit), dan asas kemanfaatan (zweckmasigkneit). Namun sebuah positive progress bahwa di dalam pasal 2 Perma N0. 3 Tahun 2017 selain empat asas di atas kini ditambah pula dengan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi dan asas kesetaraan gender. Sehingga dalam asas nondiskriminasi, hakim dilarang melakukan pembedaan, pengucilan, atau pembatasan atas dasar jenis kelamin.
Selain itu, PERMA ini di dalam pasal 4 juga mengatur serta memberikan dasar bagaimana hakim seharusnya bertindak dan berperilaku terhadap perkara perempuan di persidangan. Apa yang bisa jadi pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perempuan seperti adanya ketidaksetaraan status sosial antara kedua pihak yang berperkara, ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum, ketidakberdayaan fisik dan mental, adanya relasi kuasa, adanya riwayat kekerasan dari pelaku kepada korban atau saksi, dan juga dampak psikis.
Dalam pasal 7 PERMA N0. 3 Tahun 2017 ini, juga melarang hakim menunjukkan sikap atau pernyataan yang bias gender, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dan juga larangan menanyakan riwayat seksual korban. Selain itu, hakim mempunyai hak untuk mencegah bahkan menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.
Tidak hanya itu, dalam pasal 8 PERMA N0. 3 Tahun 2017, hakim mempunyai hak untuk menanyakan kepada korban tentang restitusinya, meliputi kerugian, dampak kasus dan kebutuhan dalam rangka pemulihan perempuan sebagai korban. Dalam hal pemulihan korban atau pihak yang dirugikan hakim dituntut untuk konsisten dengan prinsip dan standar hak asasi manusia, bebas dari pandangan stereotip gender dan mempertimbangkan situasi serta kepentingan korban dari kerugian yang tidak proporsional dari ketidaksetaraan gender.
Dalam pasal 10 PERMA N0. 3 Tahun 2017, juga dijelaskan bahwa hakim atas inisiatif ataupun permohonan dapat mendengar keterangan perempuan yang berhadapan dengan hukum melalui komunikasi audio visual jarak jauh jika memang dirasa kondisi dan juga keamanan perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak memungkinkan untuk bisa hadir dalam persidangan.
Sehingga dengan adanya PERMA N0. 3 Tahun 2017 ini sungguh memberikan angin segar bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam menggapai keadilan di mata hukum, serta dapat menambah sensitifitas gender bagi hakim dan memperbanyak angin segar lain dalam rangka melahirkan hukum-hukum progresif baru yang ramah terhadap perempuan. Meskipun sudah ada regulasi ini, kita harus ingat bahwa PERMA N0. 3 Tahun 2017 ini adalah hanya di dalam persidangan. Proses hukum yang dilalui perempuan yang di luar persidangan masih menjadi perhatian besar agar perempuan tetap merasa aman dan memperoleh keadilan. Selain itu dalam pengejawantahannya, MA telah membuat buku pedoman dan juga sosialisasi, akan tetapi masih bisa dikatakan belum maksimal tanpa adanya workshop maupun sosialisasi bagi seluruh aparat penegak hukum secara massif.