Revitalisasi Pendidikan Politik dan Demokrasi di Era Pandemi

Oleh : Niqmah Kholifatul Rizqi

Sejak ditetapkannya status pandemi yang disebabkan oleh corona virus disease 2019 (COVID-19) oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020 lalu, berdampak pada berubahnya segala tatanan kehidupan masyarakat dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia. COVID-19 telah mengubah kebiasaan dan perilaku masyarakat, termasuk di dalamnya dari segi politik. Pandemi telah menciptakan regulasi-regulasi baru dan cara berpikir yang baru pula bagi pemerintah serta masyarakat di tingkat nasional maupun internasional.

Dapat dikatakan bahwa di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi, demokrasi di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU (Economist Intelligence Unit) dengan skor 6.3. Kalau dilihat dari segi peringkat, Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan cacat demokrasi. Segala problematika yang menghadang masih tetap dan sama. Hal ini dibuktikan dengan beberapa fenomena terakhir yang mengkonfirmasi hal itu. Pertama, kontroversi kebijakan pemerintah yang dinilai menguntungkan elite tertentu. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menelurkan tiga kebijakan yang ramai disoroti dan dikritisi oleh masyarakat, yakni Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK, RUU KUHP yang membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat, dan RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja/buruh. Kebijakan-kebijakan tersebut telah memicu ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan, namun hasilnya nihil. Baik DPR maupun pemerintah masih tetap dengan pendiriannya untuk menetapkan dan mengesahkan UU tersebut.

Kedua, sikap aparatur negara yang cenderung acuh dan lamban. Hal ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak merebaknya COVID-19. Beberapa kali kebijakan yang dicetuskan cenderung membingungkan masyarakat. Bahkan pemberian bantuan sosial yang seharusnya masyarakat mendapatkan layanan terbaik, DPR masih tampak tak bergeming, padahal banyak masalah yang timbul.

Ketiga, munculnya tikus berdasi dikalangan wakil rakyat di tengah kesulitan ekonomi masyarakat luas. Kasus suap menyeret mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Di tengah tercekiknya masyarakat akan pertumbuhan ekonomi, terdapat oknum pejabat yang meraup keuntungan. Sangat disayangkan bantuan yang seharusnya diterima masyarakat dengan layak, harus dimanfaatkan guna mendapat pundi rupiah oleh oknum pejabat Negara.

Keempat, penegakan hukum yang tebang pilih. Kedekatan dengan rezim akan membawa keuntungan tersendiri dalam dunia hukum kita. Selain itu, kecenderungan menerabas aturan yang terlihat pada aturan-aturan kekinian. Hukum tumpul ke atas dan runcing ke bawah, istilah ini melekat kuat dikalangan masyarakat kita, karena memang fakta mengatakan bahwa hukum di negeri ini lebih tajam menghukum kaum sandal jepit dibandingkan kaum elit berdasi.

Dengan berbagai fakta situasi politik dan pemerintahan di atas ditambah dengan ekosistem politik pada masa pandemi, tentu saja terlihat bahwa esensi politik kita tidak mengarah pada peningkatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang penguatan oligarki. Jika terus berdiam diri menghadapi penurunan demokrasi di negeri ini, bisa jadi kualitas demokrasi di Indonesia kian melorot pasca-pandemi.

Oleh karenanya, terobosan politik yang berarti harus segera direalisasikan untuk memberantas segala problematika yang hingga kini masih mengalir terjadi. Tidak ada pilihan lagi bagi kalangan civil society untuk bangkit kembali memainkan peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan demorasi, baik di masa pandemi kini maupun di era new normal mendatang. Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional anak bangsa.

Menggiatkan Pendidikan Politik dan Demokrasi

Usaha penggiatan demokrasi tidak semata-mata dilakukan tanpa adanya dasar yang jelas. Penguatan pendidikan politik kewargaan dinilai mampu mendorong kuat pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Sayangnya masih banyak kalangan masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami makna dari pendidikan politik. Pendidikan politik adalah pendidikan dan pembinaan warga negara untuk memahami, mencintai, dan rasa keterikatan diri yang tinggi terhadap bangsa negara dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada.

Jika dihubungkan dengan problem yang ada kiranya tujuan dari pendidikan politik dapat mencakup solusi permasalahan. Pendidikan politik bertujuan memberikan pedoman utamanya kepada generasi muda Indonesia untuk sadar akan pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Berangkat dari tujuan pendidikan politik akan mencetak generasi muda yang kritis terhadap situasi sosial politik yang penuh dengan konflik. Disamping itu, pendidikan politik mengajarkan para generasi muda untuk mampu mengembangkan semua bakat dan kemampuannya yang dirancang sedemikian rupa agar mereka dapat mengaktualisasikan diri dengan ikut serta berpartisipasi secara aktif dalam bidang politik. Sehingga ketika terjadi penyelewengan kekuasaan maupun kebijakan oleh pemerintah dapat sesegera mungkin ditindak dan dikritisi secara rasional oleh para generasi muda.

Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya pendidikan politik kewargaan akan memberikan sumbangsih yang besar bagi kemajuan demokrasi di Indonesia jika benar direalisasikan. Pertama, terciptanya proses demokrasi yang semakin maju dari semua individu dan struktur kemasyarakatannya. Kedua, tindakan nyata yang penuh kesadaran dan sensitifitas dalam berpolitik yang dapat terealisasikan dalam bentuk ikut berpartisipasi yang ditunjukkan dengan sikap dan perilaku politik yang luas usahanya untuk bersama mencapai tujuan politik. Ketiga, membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa etika politik dan tanggung jawab politik sehingga mencipatkan insan politik yang terpuji. Keempat, terealisasinya kepentingan dan ideologi bangsa yang berkolerasi dengan keamanan dan kesejahteraan hidup bangsa.

Pendidikan politik tidak akan terealisasi tanpa adanya penyelenggaraan yang aktual di lapangan atau ditengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, bentuk pendidikan politik mana yang akan diterapkan dalam mendukung terlaksananya pendidikan politik merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Selain itu dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk mensukseskan hal tersebut.

Mahasiswa Semester 3, Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, IAIN Ponorogo.

Bagikan Artikel
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp