Tahun Baru Islam, Momentum Menghijrahkan Diri dari Pandemi

Oleh : Muhammad Ali Murtadlo (Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo)

Setiap tanggal 1 Muharram, umat Muslim seluruh dunia memperingatinya sebagai tahun baru Islam. Di Indonesia, peringatan tersebut biasanya ditandai dengan pembacaan do’a akhir tahun setelah sholat asyar dan do’a awal tahun yang dibaca ba’da maghrib. Tak jarang, juga ditambah dengan pembacaan istighosah dan do’a bersama.

Muharram yang diperingati sebagai tahun baru Islam merupakan salah satu dari beberapa bulan mulia (asyhuru hurum) yang dipilih sebagai awal permulaan kalender Islam. Berbeda dengan kalender masehi yang dihitung berdasarkan perputaran bumi mengitari matahari, kalender Islam dihitung berdasarkan perputaran bulan mengelilingi bumi. Lalu, mengapa kalender Islam disebut dengan kalender Hijriyah?

Menurut riwayat para ulama ahli sejarah, kalender Islam ditetapkan oleh Umar bin Khattab RA ketika beliau menjadi khalifah. Suatu saat, Umar menerima sepucuk surat dari sahabatnya, Abu Musa Al-Asy’ari RA tanpa dibubuhi tanggal dan hari pengirimannya. Sehingga, menyulitkan Umar untuk menyeleksi surat mana yang terlebih dahulu harus diurus. Sebab itulah, Umar mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka saat itu untuk membicarakan serta menyusun penanggalan.

Musyawarah yang diadakan Umar bersama para sahabatnya menghasilkan beberapa pilihan tahun bersejarah untuk dijadikan sebagai patokan memulai kalender Islam. Yaitu, tahun kelahiran Nabi Muhammad, waktu saat Nabi diangkat menjadi Rasul, tahun wafat beliau, atau ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah.

Di antara pilihan tersebut, akhirnya ditetapkanlah usulan Ali bin Abi Thalib, bahwa kalender Islam dimulai dari hari hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah. Sehingga sampai saat ini, kalender Islam disebut dengan tahun Hijriyah.

Ada beberapa alasan mengapa hijrahnya Nabi Muhammad SAW yang akhirnya ditetapkan sebagai awal penanggalan Islam. Di antaranya, karena hijrahnya Nabi Muhammad SAW merupakan momentum kebangkitan umat Islam. Hal itu dibuktikan, bahwa setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dakwah Islam mulai mencapai kejayaan. Dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin ke Madinah, Islam mempunyai kedudukan yang kuat dan terbentuklah sebuah negara yang memiliki peraturan, pimpinan serta undang-undang tersendiri.

Dengan mengabadikan hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagai awal penanggalan Islam, diharapkan peristiwa hijrah tersebut akan selalu dikenang oleh umat Islam pada setiap tahun. Sebagai memorial perjuangan yang gigih dan pengorbanan tanpa lelah, baik tenaga, jiwa dan raga Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dalam menegakkan Islam. Sehingga, dapat memupuk semangat umat Islam agar selalu berjuang menegakan agama, kapan pun dan di mana pun berada.

Memaknai Momentum Hijrah
Pakar leksikografi Alquran, Ragib al-Isfahani (w 502 H/1108 M), menjelaskan bahwa hijrah setidaknya mengandung dua makna. Pertama, bermakna fisik, seperti hijrah yang dilakukan Rasul dari Makkkah ke Madinah, dan kedua, makna nonfisik yakni meninggalkan hegemoni atau kecenderungan mengabsolutkan syahwat dan segala bentuk akhlak tercela dan dosa, menuju kebaikan yang diridloi Allah SWT.

Makna kedua inilah yang patut kita renungkan dan refleksikan di era sekarang, terlebih pada masa pandemi ini. Hijrah bukan hanya dimaknai perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain berdasarkan jasmaninya. Hijrah dapat bermakna transformasi rohani dari yang sebelumnya malas menjadi pribadi yang rajin. Rajin dalam beribadah, rajin belajar, bersedekah dan rajin dalam melakukan berbagai hal positif lainnya.

Istilah milenialnya, hijrah bisa bermakna move on. Yakni, move on dari masa lalu yang penuh kemalasan, menuju masa depan yang direncanakan dengan matang. Sebagai kaum milenial, terlebih kaum terpelajar, mahasiswa harus bisa move on dari hal-hal negatif yang menjadi kebiasan lama, menuju pengamalan berbagai hal positif yang harus dibiasakan secara terus menerus.

Bagi mahasiswa baru, momentum hijrah ini, juga bisa dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk memulai beradaptasi dengan kebiasaan baru di kampus. Dari yang dahulunya berstatus siswa, sekarang menjadi mahasiswa yang status dan tugasnya tentu berbeda. Menjadi mahasiswa harus berani memulai hidup mandiri, belajar mandiri dan melakukan apa saja secara mandiri tanpa menggantungkan orang lain.

Bagi kita semua, hijrah bisa kita maknai sebagai perpindahan kebiasaan lama menjadi terbiasa dengan hal-hal baru. Kita yang sebelumnya terbiasa dengan kegiatan belajar mengajar di kelas secara tatap muka misalnya, dipaksa harus hijrah ke dunia digital dengan belajar secara online. Pun melakukan kegiatan do’a bersama yang biasa kita lakukan secara berkumpul dan berjamaah, diganti dengan do’a bersama secara virtual. Silaturahmi yang biasa dilakukan dengan berkunjung langsung ke rumah, sekarang diganti dengan silaturahmi via media sosial lewat WhatsApp atau video call. Serta masih banyak lagi kebiasaan lama yang “dipaksa” bertransformasi menyesuaikan dengan kondisi saat ini.

Namun demikian, bukan berarti harus meninggalkan secara total kebiasaan lama. Kita harus tetap memegang teguh prinsip yang selalu digaungkan para ulama’. Al-muhafadlotu ala qodim as-shalih wal akhdu bi jadidil ashlah. Memelihara kebiasaan lama yang baik, serta mengambil hal-hal baru yang dinilai terbaik.

Selamat tahun baru Islam! Semoga di tahun 1443 Hijriyah ini kita mampu menghijrahkan diri dan memetik sebanyak-banyaknya hikmah dari pandemi.

Bagikan Artikel
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp